Kamis, 01 Maret 2012

PERKEMBANGAN PERBANKAN DI INDONESIA DARI TAHUN 1990 SAMPAI 2010

NAMA : APRIYANTO MUCHID
KELAS : 3 EA 16
NPM : 10209647
MATA KULIAH : Komp. Lembaga Keuangan Perbankan
TUGAS PERKEMBANGAN PERBANKAN DI INDONESIA DARI TAHUN 1990 SAMPAI 2010
DOSEN : PRIHANTORO

Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.


Tabel 1. Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun Kantor Bank Pemerintah Kantor Bank Swasta
Pusat Cabang Pusat Cabang
1988 7 852 104 876
1989 7 922 141 1656
1990 7 1018 164 2545
1991 7 1044 185 3203
1992 7 1066 201 3341
1993* 7 1066 213 3382
Sumber : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993 .
Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo¬nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90. Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen atau 121.7 persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun Deposit Kredit Uang Beredar Inflasi (%)
1988 37.510 44.001 33.885 6.10
1989 54.375 63.606 41.998 5.97
1990 83.154 97.696 58.704 9.53
1991 95.118 113.608 84.630 9.52
1992 114.850 123.689 119.053 4.94
1993* 117.636 124.922 123.161 6.59
Sumber : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993



Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C. Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.



Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i) Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.


Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.
D. Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.

Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
E. Kondisi Terakhir Perbankan Di Indonesia
Kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit investasi juga mencatat pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal kerja tumbuh 39 persen, kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit macet (Non Performing Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal perbankan (CAR) juga masih tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan risiko pasar masih tergolong rendah, namun berpotensi meningkat apabila pemburukan ekonomi global berlanjut. Lebih lanjut Mulyaman memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,9-5 persen, pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20 persen di tahun 2009 mendatang.
Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Fokus penilaian program ini yaitu mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi kontribusinya bagi pertumbuhan dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk melakukan stress test kekuatan perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang paling ekstrim seperti penurunan pertumbuhan ekonomi.
Untuk Indonesia hasil stress test sangat positif. Dalam tes dengan skenario bawah, meski keuangan bank terkena dampak tetapi permodalan masih bertahan di batas yang ditentukan. Dalam kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi sistem yang kuat dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar negeri.


SUMBER : http://lovelycimutz.wordpress.com/2010/10/10/perkembangan-perbankan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar