Sabtu, 16 Oktober 2010

tulisan cerpen saat untuk celaka


Nama : Apriyanto Muchid
Kelas : 2 ea 16
Npm : 10209647
Tulisan,,
cerpen saat untuk celaka
Mata kuliah : ekonomi koperasi #
Nama dosen : Lista kuspriatni

Saat untuk Celaka


Bukan sekali dua kali saya berpikir, bagaimana kalau seandainya truk pasir yang baru saja melintas depan mata ini melindas kepala saya. Apakah akan hancur? Apakah akan tinggal setengah saja? Apakah saya akan meninggalkan mimpi buruk bagi para saksi yang tercengang? Apakah para polisi dan pembersih jalan akan kesusahan menghapus noda darah kering yang terpercik ke seantero jalanan? Pertanyaan yang sebetulnya saya tidak perduli pada jawabannya, tapi merasa agak tidak beradab kalau tidak menanyakannya. sekedar tanggung jawab moral pada sebuah integritas diri yang menjunjung tinggi rasa kepedulian terhadap sesama - paling tidak terhadap keseimbangan kognisi orang lain.
Lalu saya pun mulai memilah-milah, seakan sedang meng-create avatar, bagaimana cara kecelakaan favorit saya. Apakah dengan terlempar dari motor, lalu menghantam tiang dan mematahkan tulang bahu? Hal itu sudah menimpa sahabat saya dan membuatnya terkapar berminggu-minggu di rumah sakit internasional Bintaro. Bagaimana suasananya, lebih dramatis hujan, atau siang hari terik yang membakar. Mirip seperti kejadian bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dimana kedua kota itu sedang menikmati musim panas ketika Amerika membakar mereka. Sama-sama bencana di siang bolong. Lalu siapakah yang saya pilih jadi saksi. Kekasih saya-kah? Ibu saya-kah? Atau lebih baik tidak dilihat siapapun alias menjadi korban tabrak lari di tengah kesunyian jalan.
Ketika saya berpikir-pikir lagi, saya lebih senang pada kecelakaan biasa. Cukup untuk membuat saya pingsan dan dirawat di rumah sakit, tapi tidak cukup buruk untuk membuat saya kehilangan organ tubuh atau bahkan nyawa. Boleh saja mengeluarkan darah, banyak atau sedikit. Itulah mengapa saya ingin tidak sadarkan diri, karena pasti akan terpekik ngeri melihat darah atau kulit dan tulang yang terkoyak lebar, lalu otomatis otak saya akan menginstruksikan rasa sakit, dan sakit akan mendera. Saya tidak mau melihatnya. Kalaupun sadar, saya tidak mau lama-lama. Mungkin cukup 5 menit untuk menikmati wajah cemas orang yang menemukan saya, tapi cukup itu saja, untuk tersenyum pada momentum itu.
Jadi pilihan jatuh pada tertabrak mobil biasa. Bukan truk, bukan traktor, bukan mobil Pertamina - tubuh yang hancur bukanlah image yang saya ingin tinggalkan. Saya mengeliminasi kecelakaan motor karena penumpang biasanya terlempar jauh dan terluka tercerai berai, dan kemungkinan saya naik motor adalah bersama tukang ojek, sedangkan tukang ojek pasti tidak punya cukup dana untuk bertanggung jawab. Mobil biasa sudah cukup, menabrak dengan deskripsi seperti diatas. Pengemudinya tentu saja berasal dari kalangan mampu, sehingga keluarga saya tak perlu susah.
Kaki yang patah, ok. Tangan yang retak atau patah juga, ok, tapi dengan catatan, semuanya bisa pulih maksimal dalam waktu 6 bulan-1 tahun.
Sobek, koyak, dan bocor, sudah biasa tentunya terjadi dimana-mana.
Tapi tidak ada kehilangan jari sehingga saya tak bisa menulis, atau kehilangan mata
sampai saya tak bisa lagi jadi pengamat. Kalau ada satu fungsi organ yang hilang, saya
akan memilih kehilangan fungsi indra pendengaran.
Tapi tentu saja, yang saya pilih hanya luka biasa dari kecelakaan biasa.
Memar, sedikit darah, sedikit retak di sana sini.
Oya, tidak ada amnesia, karena akan membuat hidup saya seperti sinetron.
Saksinya, adalah teman-teman diluar lingkaran kenyamanan saya. Teman yang intensitas kedekatannya sangat biasa-biasa saja. Pertimbangannya ada. Mereka yang terlalu dekat dengan saya akan terluka dan dihantui oleh kejadian ini, dan tentu membuat mereka sedih dengan menyaksikan kecelakaan ini. Bukan hanya masalah perasaan, tapi the significant others ini punya wewenang besar atas diri saya, dan ketika petaka terjadi, mereka harus berpikir jernih dan tenang untuk mengurus administrasi rumah sakit, mengurus saya disana, mencari dokter yang baik, dan menghubungi orang-orang terdekat lainnya - yang tidak akan bisa dilakukan kalau mereka sendiri shock. Tapi orang-orang biasa tadi, meski mungkin reaksinya kaget, prihatin, dan langsung menolong, mereka tidak akan terpengaruh lebih jauh, ataupun punya kewenangan untuk berbuat lebih. kalaupun mereka dihantui kejadian ini selamanya, saya tentu tidak perduli, karena sekali lagi, mereka hanya teman biasa.
Lalu apakah alasan paling baik untuk celaka? Saya emoh menabrakkan diri karena ketika saya terbangun di rumah sakit nanti, seperti yang sudah diprediksi sahabat saya sebelumnya, orang-orang akan bertanya panik mengapa saya melakukannya. Lebih bagus yang agak heroik seperti menarik anak kecil dari jalan, atau menyelamatkan teman yang berdiri di sisi jalan. Menyeberang sembarangan tentu akan merusak image karena itu pasti saya yang salah dan alasan itu menjadi tidak elegan.
Kalau memang ini seperti sebuah pilihan di account friendster profile, saya akan meng-click suasana sore hari sebagai pilihan. Saat angin bertiup pelan, saat pohon-pohon berdesau lamban. Saat nenek tua tersenyum dan berpendapat ini adalah saat menikmati hidup. Saat matahari melembut siap berubah menjadi senja, dan semua orang berpikir ini adalah akhir hari yang sempurna. Saat itu yang saya pilih. Saat untuk Celaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar