Selasa, 06 November 2012

Tulisan Sembilan, Ilmu itu untuk diamalkan

Nama               : Apriyanto Muchid
Npm                : 10209647
Kls                    : 4 EA 16
Tulisan Sembilan, Ilmu itu untuk diamalkan 
Mata kuliah     : Etika Bisnis #
Dosen              : Sri Murtiasih


Bisa bahkan mungkin mudah bagi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu yang bisa semalam suntuk menyampaikan dan membahas tentang hadits-hadits Nabi.

Bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits tersebut di luar kepalanya. Tetapi ketika tiba waktu mengamalkan hadits-hadits yang dihafalkannya itu, dia tidak mengamalkannya.

Sekedar mengingatkan bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda:

عَلَيْكَ أَوْ لَكَ حُجَّةٌ القُرْآنُ

Al-Qur’an akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan menyerangmu. (HR Muslim no 223)

Mari kita bercermin dan mengintrospeksi diri kita, apakah dengan semakin bertambahnya ilmu kita demikian juga bertambah amalan kita?

Ataukah bertambahnya ilmu justru membuat kita semakin malas dalam beramal?

Bukankah kita masih ingat, di awal-awal dapat hidayah QHJ dan awal-awal mengenal pengajian, sambung, semangat kita begitu besar dalam menjalankan sunah-sunah Nabi, tetapi kenapa ada sebagian dari kita dengan semakin bertambahnya ilmu justru semakin sedikit beramal?

Bahkan, ada pula sebagian kita setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunah (mustahab) dan tidak wajib, malah terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut. Bertambahnya ilmu justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan.

Bukankah bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan?

Ingat bahwa ilmu bukanlah ibadah yang independen!

Ilmu baru bisa disebut ibadah yang terpuji jika ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya.

Ilmu hanya wasilah untuk amal dan bukan tujuan. Ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Ilmu adalah wasilah untuk beramal.

Maka semua dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu itu berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Dan kesimpulannya bahwa seluruh ilmu syar’i tidak dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yaitu amal.

Jaga hati, ikhlaskan niat karna Alloh dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya.

Tujuan ilmu adalah amal, dan tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Alloh dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.

Alloh Ta'ala sudah mengingatkan dalam firman Nya:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (
٢

ڪَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (
٣

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. Ash Shof(61): 2-3)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam pun dalam membina umatnya mengembangkan serta menciptakan iklim yang kondusif, yakni dengan sabdanya yang pendek-pendek mampu mendorong semangat para sahabat untuk beramal sebanyak mungkin.

Faktanya bisa kita lihat bahwa sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam itu tidak ada yang panjang sampai menghabiskan waktu yang lama, namun dengan sabda yang sesingkat dan sependek itu membuat daya logika yang tinggi untuk konsumsi intelektual serta mendorong dalam beramal secara sungguh-sungguh.

Malah beliau pun pernah membuat satu perumpamaan untuk menyindir orang yang banyak berucap, panjang berpidato serta fasih dalam menasihati orang lain tapi tanpa pengaplikasian dalam kehidupannya sehari-hari, dengan sabdanya,

"Perumpamaan orang alim yang mengajari orang lain untuk berbuat kebaikan, padahal ia sendiri tidak mengamalkannya, bagaikan sebuah lampu yang memberi terang kepada orang lain tetapi membakar dirinya sendiri," HR. Ath-Thobroni.

Orang yang banyak berucap tetapi tidak beramal, selain mendapat cela di dunia juga menanggung beratnya akibat dan hinanya di akhirat.

Di dalam riwayat Ahmad dari Anas bin Malik, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,"Pada suatu malam di isro' kan, aku melewati satu kaum yang mulutnya dipotong dengan gunting-gunting dari api neraka. Aku bertanya,"Siapakah mereka itu?" Maka dijawab,"Mereka itu Khotib-khotib dari umatmu waktu di dunia, yang suka menyuruh orang lain berbuat kebaikan, namun melupakan diri-diri mereka sendiri padahal mereka membaca kitab, seolah-olah mereka tidak mengerti dari apa yang mereka baca." HR. Ahmad.

Di dunia mereka sudah tidak dipercaya bahkan jadi cemoohan, di akhirot siksa yang pedih sudah menunggu mereka. Na'udzubillahi min dzalik.

Skedar mengingatkan setelah kita deres lagi walaupun hanya sekilas beberapa keterangan yang menerangkan betapa tercelanya orang yang berucap dengan tidak mengamalkannya, setidaknya kita pun perlu berhati-hati agar tidak terjerumus pada kelakuan seperti itu. Jangan sampai sindiran dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam itu kena kepada kita, bisa menerangi orang lain tetapi diri kita hangus terbakar, apalagi di akhirot harus menanggung azab yang amat sangat pedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar